Jujur, Kiat Menuju Selamat.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْم 
“Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.
 

Definisi Jujur. 
 
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut

 Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.

Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).

Allah berfirman,
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119)
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)


Keutamaan Jujur.

Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi,

“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.”

 Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama.

Sifat jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan.

Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda,

“Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus keberkahannya.”

Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang nyata– kita dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba datang untuk bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia dan akherat.

Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain senang dengannya, memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram dengannya. Berbeda dengan pendusta. Temannya sendiripun tidak merasa aman, apalagi musuh atau lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan alangkah buruknya perkataan seorang pendusta.

Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan, kejujurannya -dengan izin Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan kejujuran maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruf), melarang (dari yang mungkar), membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan sekalian manusia dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan dipercaya. Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya mendatangkan manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’ mencari nama. Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik dalam salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya semuanya hanya untuk Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya tipu daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan celaan para pencela dalam kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul dengannya melainkan merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan keluarganya. Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup, pemegang wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan yang akan ditunaikan kepada orang yang berhak.

Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur dan benar, sebagaimana firman-firman Allah yang berikut,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (QS. al-Maidah: 119)
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
Nabi bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan, (mendatangkan) keraguan.”


Jujur, Kiat Menuju Selamat.

Jujur adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan menjadi pembicaraan. Akan tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi luarnya saja dan belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri. Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang, sumpah, dan sebagainya.
 

Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam jujur adalah jujur kepada Allah, jujur dengan sesama dan jujur kepada diri sendiri. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa Nabi bersabda,

“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”

Editor :  Muhammad Hidayat

Read more

Asal Usul Penciptaan Manusia Pertama

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْم
“Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.
 
Penciptaan Adam adalah kisah penciptaan manusia yang pertama. Adam diriwayatkan sebagai satu daripada ciptaan Allah yang paling kontroversi atau paling disebut-sebut oleh makhluk Allah yang lain. Peristiwa tersebut dikisahkan dalam Al-Qur’an.
 
Ketika Allah berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi. Mereka bertanya (tentang hikmat ketetapan Tuhan itu dengan berkata): Adakah Engkau (Ya Tuhan kami) hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah, padahal kami sentiasa bertasbih dengan memujiMu dan mensucikanMu?.

Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui akan apa yang kamu tidak mengetahuinya.”(Surat Al Baqarah: 30)



Ciptaan dari Tanah


Allah telah memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi untuk mengambil sebahagian tanah sebagai bahan untuk menjadikan Adam.

Walau bagaimanapun, bumi enggan membenarkan tanahnya diambil malah bersumpah dengan nama Allah bahwa dia tidak rela untuk menyerahkannya kerana kebimbangannya seperti yang dibimbangkan oleh para malaikat.

Jibril kembali setelah mendengar sumpah tersebut lalu Allah mengutuskan pula Malaikat Mikail dan kemudiannya Malaikat Israfil tetapi kedua-duanya juga tidak berdaya hendak berbuat apa-apa akibat sumpah yang dibuat oleh bumi.

Maka, Allah memerintahkan Malaikat Izrail untuk melakukan tugas tersebut dan mendesak bumi agar tidak menolak walaupun bumi bersumpah karena tugas tersebut dijalankan atas perintah dan nama Tuhan.

Maka, Izrail turun ke bumi dan mengatakan yang kedatangannya adalah atas perintah Allah dan memberi amanat kepada bumi untuk tidak membantah yang memungkinkan bumi mendurhakai Allah.

Menurut Ibnu Abbas, tanah bumi dan syurga digunakan untuk dijadikan bahan mencipta Adam. Tanah tersebut adalah:

1. Tanah Baitulmuqaddis (Palestin) – kepala sebagai tempat kemuliaan untuk diletakkan otak dan akal.

2. Tanah Bukit Tursina (Mesir) – telinga sebagai tempat mendengar dan menerima nasihat.

3. Tanah Iraq – dahi sebagai tempat sujud kepada Allah.

4. Tanah Aden (Yaman) – muka sebagai tempat berhias dan kecantikan.

5. Tanah telaga Al-Kautsar – mata sebagai tempat menarik perhatian.

6. Tanah Al-Kautsar – gigi sebagai tempat memanis-manis.

7. Tanah Kaabah (Makkah) – tangan kanan sebagai tempat mencari nafkah dan bekerjasama.

8. Tanah Paris (Perancis) – tangan kiri sebagai anggota untuk melakukan istinjak.

9. Tanah Khurasan (Iran) – perut sebagai tempat berlapar.

10. Tanah Babilon (Iraq) – kelamin sebagai organ seks dan tempat bernafsu serta godaan syaitan.

11. Tanah Tursina (Mesir) – tulang sebagai peneguh manusia.

12. Tanah India – kaki sebagai anggota berdiri dan berjalan.

13. Tanah Firdaus (Syurga) – hati sebagai tempat keyakinan, keimanan, dan kemahuan.

14. Tanah Taif (Arab Saudi) – lidah sebagai tempat untuk mengucapkan syahadah, syukur dan do’a.


Penyempurnaan

Tubuh Adam mempunyai sembilan rongga atau liang. Tujuh liang di kepala dan dua di bawah badan yaitu dua mata, dua telinga, dua hidung, satu mulut, satu dubur dan satu uretra.

Lima panca indera dilengkapi dengan anggota tertentu seperti mata untuk penglihatan, telinga untuk pendengaran, hidung untuk pengesanan bauan, lidah untuk perasa seperti asam, asin, manis dan pahit dan kulit untuk sentuhan bagi panas, dingin, tekanan, viskositas dan sakit.

Ketika Allah menjadikan tubuh Adam, tanah dicampurkan dengan air tawar, asin dan anyir beserta api dan angin. Kemudian Allah resapkan Nur ke dalam tubuh Adam dengan pelbagai “sifat”.

Lalu tubuh Adam digenggam dengan genggaman Jabarut dan diletakkan di dalam Alam Malakut. Tanah itu dicampurkan lagi dengan istilah wewangian dan ramuan dari Nur Sifat Allah dan dirasmi dengan “Bahrul Uluhiyah“.

Kemudian, tubuh tersebut dibenamkan dalam “Kudral ‘Izzah” yaitu sifat “Jalan dan Jammal” lalu disempurnakan tubuh tersebut.

Waktu kejadian manusia tidak disebut berapa lama walaupun melalui apa cara perhitungan sekalipun seperti dalam al-Quran: “Bukankah telah berlalu kepada manusia satu ketika dari masa (yang beredar), sedang dia (masih belum wujud lagi dan) tidak menjadi sesuatu benda yang disebut-sebut…” (Surat Al Insaan:1)

Menurut keterangan ulama, tubuh Adam diselubungi dalam tempo 120 tahun, 40 tahun di tanah yang kering, 40 tahun di tanah yang basah dan 40 tahun di tanah yang hitam dan berbau.

Dari situ, Allah ubah tubuh Adam dengan rupa kemuliaan dan tertutuplah dari rupa hakikatnya. Karena proses kejadian itu melalui peringkat yang “kotor”, tidak heran Malaikat dan Iblis memandang rendah akan kejadian manusia yang diciptakan dari tanah.


Masuknya Roh

Roh diperintah Allah untuk memasuki jasad Adam tetapi seperti makhluk lain, roh juga enggan, malas dan segan karena jasad yang seperti batu. Dikatakan ruh berlegar-legar mengelilingi jasad Adam sambil disaksikan malaikat.

Kemudian, Allah memerintahkan Malaikat Izrail memaksa ruh memasuki tubuh tersebut masuk ke dalam tubuh Adam. Ia memasukkannya ke dalam tubuh dan roh secara perlahan-lahan masuk hingga ke kepalanya yang mengambil masa 200 tahun.

Setelah meresapi ke kepala Adam, maka berfungsilah otak dan tersusunlah urat saraf dengan sempurna.

Lalu, terjadilah mata dan terus terbuka melihat tubuhnya yang masih keras dan malaikat di sekelilingnya.

Telinga mulai berfungsi dan didengarnya kalimat tasbih para malaikat. Apabila roh tiba ke hidung, lalu ia bersin dan mulutnya juga terbuka.

Allah mengajarkan kalimat, “Alhamdulillah” yang merupakan kalimat pertama diucapkan Adam dan Allah sendiri yang membalasnya.

Kemudian, roh tiba ke dadanya lalu Adam berkeinginan untuk bangun padahal tubuhnya yang bawah masih keras membatu. Ketika itu ditunjukkan sifat manusia yang terburu-buru.

Ketika roh sampai di perut, maka organ dalam dan perut tersusun sempurna dan saat itu Adam mulai merasakan lapar. Akhirnya, roh meresap ke seluruh tubuh Adam, tangan dan kaki dan berfungsilah dengan sempurna segala darah daging, tulang, urat saraf dan kulit.

Menurut riwayat, kulit Adam amat baik ketika itu berbanding kulit manusia di kini dan warnanya masih dapat dilihat di kuku sebagai peringatan kepada keturunan manusia.

Dengan itu, sempurnalah sudah kejadian manusia pertama dan Adam digelar sebagai “Abul Basyar” yaitu Bapak Manusia. Walau bagaimanapun, hanya Nabi Muhammad s.a.w. mendapat gelaran “Abul Ruh” atau “Abul Arwah” yaitu Bapak segala Roh.

Sumber  : Apa Kabar Dunia
Read more

"Benci" Itu Benar-Benar Cinta?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْم
“Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.
 
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Kata bahasa gaul, ‘BENCI” itu benar-benar cinta. Memang benar. betapa sulitnya manusia meninggalkan apa-apa yang disukai atau dicintainya (dan dicintai oleh hawa nafsunya), sebaliknya betapa mudahnya manusia meninggalkan apa-apa yang dibencinya (dibenci hawa nafsunya). Rasulullah pernah bersabda, “Syurga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai (oleh hawa nafsu) dan sedangkan neraka itu dikelilingi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Jika engkau mencintai seseorang, maka ingatlah kepada Yang Maha menguasai kekasihmu, ialah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan jika engaku mencintai seseorang, maka ingatlah kepada Yang Maha menanamkan rasa cinta dalam hatimu itu, ialah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena jika engkau mencintai seseorang, dan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ingatanmu tertuju, artinya engkau telah memahami makna cinta dan menjauhi syahwat.

Kadangkala kita sering melakukan kesalahan tanpa kita sadari. Ketika jatuh cinta kita terlalu jauh berharap dan memberikan seluruh hati pada seseorang. Bila ternyata orang tersebut melakukan kesalahan, kitapun benci-sebenci-bencinya. Yang kelihatan hanya keburukannya saja, tiada sedikitpun kebaikan padanya. Padahal sebagai manusia kita tidak terlepas dari salah dan khilaf. Bila kita tidak berkenan kepada seseorang alangkah baiknya, kalau kitapun berusaha menjaga lisan dan perbuatan yang menyebabkan penyesalan pada akhirnya. Ketika kita mencaci maki seseorang dengan kata-kata yang kasar, sebenarnya kita sedang memperlihatkan kualitas kita sebagai manusia. Menunjukkan gambaran hati kita. Dan ketika kita menyadari semua itu sudah terlambat. Penyesalan sudah tidak lagi berguna. Sakit dan luka yang kita goreskan akan kembali kita rasakan sakitnya. Orang tidak akan bisa menilai siapa kita yang sebenarnya, selain apa yang keluar dari lisan kita. Qalbu dan lisan tidak bisa dipisahkan. Qalbu itu bagaikan panci dalam dada yang mendidih isinya dan siuknya adalah lisannya. Oleh karena itu, perhatikanlah seseorang ketika dia bicara karena sesungguhnya lisannyalah yang menyiukkan untuk anda rasa manis dan rasa kecut, rasa segar dan rasa pahit kandungan hatinya dan memberitahukan kepada anda rasa kandungan hatinya melalui lisannya Bila qalbu kita kotor maka kata-kata yang kotor dan kasarlah yang keluar dari lisan. Bila qalbu bersih, maka kata-kata kebaikan yang akan keluar dari lisan kita. Mulut seseorang adalah toserba perbendaharaannya Dan kedua bibir mereka adalah kuncinya sedang gigi mereka adalah cakarnya Apabila seseorang membuka pintu toserbanya. Akan jelaslah bagi anda baik buruknya. Barangsiapa yang qalbunya disertai dengan kebaikan, niscaya keburukan tidak akan dapat membahayakannya. Barangsiapa yang disertai dengan keburukan, niscaya kebaikannya tidak berguna baginya.
Cinta dan benci adalah dua sifat fitrah yang selalu melekat pada diri manusia, kapanpun dan di manapun, kedua sifat tersebut merupakan karunia dari Allah sejak manusia diciptakan. Cinta tidak selalu bermuatan positif, begitu juga sebaliknya, benci tidak selalu ber¬muatan negatif, sebagaimana yang dipahami oleh banyak orang. Di dalam Islam, kedua kata yang berlawanan arti ini bisa sama-sama bermakna positif apabila disalurkan sesuai dengan aturan Allah. Begitu juga kebalikannya, keduanya dapat bermakna negatif jika disalur¬kan secara ber¬tentangan dengan aturan-Nya. Cinta dan benci bisa menjadi ladang amal shalih kalau dikelola dengan baik dan sesuai aturan Islam. Cinta yang tidak bermuatan positif, apabila cinta kita terhadap mahluk membabi buta, melebihi kecintaan kita kepada Allah, begitupun dengan benci yang bermuatan negatif, adalah merupakan kebencian tanpa alasan yang jelas. Sedangkan untuk cinta dan benci yang positif. Cinta dan benci, bila kita bisa menempatkannya secara tepat dan proposional, maka akan bernilai ibadah, seperti bila kita mencintai dan membenci karena Allah. Saling cinta mencintai dan sayang menyayangi karena Allah, merupakan cerminan dari kebenaran cinta kepada Allah. Sebab cinta kepada Allah akan melahirkan cinta kepada apa-apa yang dicintai Allah dan mencintai kepada amalan-amalanyang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Mencintai seseorang karena Allah, bukanlah cinta nafsu, tapi mencintai para Nabi, orang-orang shaleh dan orang-orang mukmin adalah bagian yang tak terpisahkan dari kecintaan kepada Allah. Jika kita mencintai seseorang karena Allah, sebenarnya kita mencintai Allah juga, karena pada diri seorang yang kita cintai (orang mukmin) itu ada daya tarik tersendiri yang akan mendorong cinta kita yang lebih mendalam kepada Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan benci karena Allah adalah mencurahkan ketidaksukaan dan kebencian kepada orang-orang yang mempersekutukanNya dan kepada orang-orang yang keluar dari ketaatan kepadaNya dikarenakan mereka telah melakukan perbuatan yang mendatangkan kemarahan dan kebencian Allah, setelah sebelumnya kita coba memperingatkan dan mengajaknya kembali kejalan Allah, namun bila mereka tetap berada dalam kefasikan dan berbuat maksiat dan kerusakan, kita harus membencinya karena Allah. Dan atau orang-orang kafir yang memusuhi agama islam, meskipun mereka itu adalah orang-orang yang dekat hubungan dengan kita, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ”Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka..” (Al Mujaadilah ayat 22)

Sungguh tipis sekali batas antara cinta dan benci, Rasululullah pernah bersabda, “Cintailah seseorang sekedarnya saja , bisa jadi suatu saat dia menjadi orang yang paling kamu benci dan bencilah seseorang sekedarnya saja karena bisa jadi suatu saat dia menjadi orang yang paling kamu cintai” (HR At Thurmidzi). Manusia bisa begitu sangat sulitnya meninggalkan hal-hal di dicintai hawa nafsunya, seperti bermalas-malasan, menunda-nunda ibadah, foya-foya, hura-hura, melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk akhirat, misalnya pergi ke diskotik, ghibah, mencari-cari kesalahan orang lain, dan sebagainya. Namun begitu mudahnya meninggalkan hal-hal yang dibenci oleh hawa nafsunya, seperti bangun untuk sholat tahajud, membaca dan mengkaji Al Quran, saum sunnah, shalat sunnah, sedekah, dan sebagainya. Coba saja kita renungkan, betapa mudahnya sebagian orang melangkahkan kaki, untuk menghabiskan waktu jalan-jalan ke mall atau pusat pertokoan dan membelanjakan uangnya, bahkan kadang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu (boros) dan begitu mudahnya orang menghabiskan waktu untuk ”ngerumpi.” . Sebaliknya bila diperhatikan, betapa terasa berat langkah sebagian dari mereka, untuk melangkahkan kakinya ke masjid, majelis taklim atau menginfakkan uang mereka untuk fakir miskin, serta beratnya mereka mengambil air wudhu dan membaca atau mengkaji Al-Quran.

Pada umumnya manusia lebih suka dan lebih mudah menerima ujian kesenangan, dan kadang ada yang sulit untuk menerima dengan ikhlas dan lapang dada, saat diberi ujian kesempitan. Ini semua terkait dengan nafsu manusia. Ujian kesenangan adalah hal-hal yang disukai manusia, sedangkan ujian kesulitan adalah hal-hal yang dibenci nafsu manusia. Tapi jika seseorang mampu bersabar dalam menghadapi ujian kesulitan dengan melawan kehendak hawa nafsunya, berarti dia mampu menahan diri dalam kondisi sulit, maka Allah akan memberikan jalan keluar serta ditempatkannya ke dalam syurga. Sesungguhnya syurga bisa di raih dengan sesuatu yang tidak disukai oleh hawa nafsu manusia, yaitu dengan menundukkan hawa nafsu manusia, khususnya hawa nafsu ammarah bissu’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar”. (Ali-Imran ayat 146). “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Dia (Allah) akan menjadikan baginya jalan keluar, kemudian memberikan rezeki dari sumber yang tidak disangka-sangka” (At-Thalaq ayat 2). “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (At-Thalaq ayat 4). Coba cermati ayat tersebut, bahwa syarat utama untuk memperoleh jalan keluar dari suatu kesulitan adalah sikap jiwa dan sikap takwa. Memang benar janji Allah itu terbukti, sebagaimana firman-Nya dalam Surat As-Shaff ayat 13, “Dan karunia lain yang kamu sukai, (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan sudah dekat. Sampaikanlah berita gembira itu kepada orang-orang yang beriman” (As-Shaff ayat 13). Juga dalam kehidupan dan perjuangan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak contoh yang menunjukkan bahwa pada suatu situasi yang kritis kerap kali beliau menemukan jalan keluar dari kesulitan antara lain sewaktu beliau bersembunyi di dalam gua tsaur (kira-kira 7 km keluar kota Makkah) sewaktu perjalanan hijarah ke Madinah. Kaum kafir yang mengejar beliau sudah sampai di pintu gua tersebut dan siap untuk menggedor pintu gua itu. Tapi apa yang terjadi? Tiba-tiba mereka melihat sarang laba-laba yang terbentang di muka pintu gua itu, yang merupakan petunjuk bahwa bila ada orang di dalam gua tentu sarang tersebut putus dan berantakan. Akhirnya kaum kafir (tukang pukul Abu Jahal) meneruskan pencarian ke tempat lain, padahal di dalam gua Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat cemas.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengilhamkan kepada jiwa manusia itu dua jalan, yaitu kejahatan dan ketakwaan. ''Dan (demi) jiwa dan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.'' (Asy-Syams ayat 7-10). Ayat ini menunjukkan bahwa betapa sulitnya, manusia meninggalkan apa-apa yang disukai atau dicintainya (dan dicintai oleh hawa nafsunya) dan sebaliknya betapa mudahnya manusia meninggalkan apa-apa yang dibencinya (dibenci hawa nafsunya). Kita diberi pilihan, memilih jalan yang mana, kita diberi akal untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kita juga diberi ujian sebagai pembuktian keimanan, apakah dengan ujian itu, tetap pada keimanan atau berpaling dan melakukan yang salah. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, “Kami telah beriman,' sedangkan mereka tidak diuji lagi” (Al Ankabuut ayat 2). Kita dikaruniai akal pikiran untuk memilih jalan ketakwaan atau kefasikan. Bila jalan takwa yang kita pilih, maka kemenangan yang kita dapatkan, "Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan" (An-Nur ayat 52). Bila memilih jalan kefasikan, maka nerakalah tempatnya kelak, ”Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya” (As Sajdah ayat 20). ”Fasik” didefinisikan : orang yang banyak berbuat maksiat, meninggalkan perintah Allah, keluar dari jalan benar dan agama. Fasik juga didefinisikan orang yang melakukan dosa besar atau sering melakukan dosa kecil. Fasik secara bahasa bermakna keluar atau menyimpang dari sesuatu. Menurut para ulama, seperti Al-Qurthubi, seseorang disebut fasik apabila sudah keluar dari ketaatannya kepada Allah, seperti berbuat kemaksiatan secara terus-menerus.

Sekarang tanyakan dengan jujur pada diri sendiri, sudahkah kita meninggalkan hal-hal yang disenangi dan dicintai oleh hawa nafsu selama ini? Dan sudahkah kita menempatkan cinta dan benci secara tepat dan proposional? Allah mengilhamkan pada jiwa kita dua jalan, sekarang coba tanyakan pada hati nurani kita, selama ini, semua yang kita lakukan dalam hidup, lebih mengarah pada jalan yang mana, jalan ketakwaan atau kefasikan? Hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya dengan jujur. Dan apabila kita temui jawabannya, tenyata masih perlu banyak perbaikan, maka perbaikilah, sebelum terlambat. Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
 
Sumber : Komunitas Umat Islam Indonesia
Editor : Muhammad Hidayat
Read more

Matilah Dalam Keadaan Beragama Isam

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْم
“Dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang.”

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh..
 
Artikel kali ini saya dapat dari sebuah grup Islam di Facebook, artikel kali ini akan membahas tentang kematian. Semoga bermanfaat bagi anda. Berikut artikelnya..

Ada satu kepastian diantara ketidakpastian dalam kehidupan manusia, secara sadar atau tidak, manusia sesungguhnya menuju kepada-Nya. Tidak perduli apakah ia siap atau tidak, tua atau muda, cepat atau lambat. Bagi sebagian manusia, ia hanyalah proses alamiah dalam sebuah kehidupan. Menjadi akhir peristirahatan dari segala kegalauan. Bagi sebagian lain ia adalah awal dari sebuah kehidupan. Itulah "KEMATIAN". Pokoknya, setiap yang berjiwa baik itu manusia, hewan, tumbuhan dan lain sebagainya akan merasakan mati, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati...” (Ali Imaran ayat 185). Di lain ayat, Allah menerangkan bahwa kematian itu terjadi atas izin-Nya sebagai sebuah ketetapan yang telah ditentukan waktunya, sebagaimana firman-Nya, Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya...” (Ali Imran ayat 145)

Ibarat sebuah sungai, muaranya merupakan merupakan pintu gerbang samudra. Begitu pula dengan kematian, ia adalah muara bagi pintu gerbang samudra kehidupan yang luas dan kekal.
Sesungguhnya manusia telah memilih bagaimana akhir kehidupannya. Dan pilihan itu ada pada bagaimana ia menjalani kehidupannya. Sebagaimana ia menjalani kehidupannya seperti itulah kemungkinan besar ia akan menghadapi kematiannya. Karena sesungguhnya dengan menjalani kehidupan berarti kita sedang berjalan menuju kematian kita. Katakanlah sesungguhnya kematian yang kamu semua melarikan diri darinya itu, pasti akan menemui kamu, “kemudian kamu semua akan dikembalikan ke Dzat yang Maha Mengetahui segala yang ghaib serta yang nyata”’ ( Jum’ah ayat 8). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkanmu, meskipun kamu berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh” (An-Nisa ayat 78).
Kematian adalah sesuatu yang pasti akan terjadi dan akan menima kepada setiap yang berjiwa. Yang jadi masalah adalah tidak ada yang tahu kapan kematian itu akan menimpa, Rasulullah sendiri pun tidak diberitahu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tinggal bagaimana diri kita dalam mempersiapkan diri ini untuk menghadapi kematian yang akan mendatangi kita. ”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Ali Imran ayat 102). Kita umat manusia sesungguhnya diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya untuk mengabdi atau beribadah saja. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Adz-Dzariyaat ayat 56). Ayat ini menunjukkan bahwa kita umat manusia sesungguhnya diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya untuk mengabdi atau beribadah saja. Namun kebanyakan manusia menjadi lengah, teledor dan bahkan ada yang sengaja melupakan kewajiban beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Orang-orang yang berfikir secara kerdil dan menjatuhkan diri kepada keduniawian akan berlari dengan segala kemampuan yang ada dari kematian. Kematian merupakan momok yang menakutkan yang akan mengambil segala yang telah diusahakan selama hidupnya. Padahal jauh berabad-abad dahulu Rosulullah telah mengingatkan, “Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan (kematian)”. (HR. Tirmidzi). Pada jaman sekarang ini, manusia kebanyakan berlomba-lomba dalam kemegahan, menumpuk-numpuk harta, mereka tidak akan merasa puas, kecuali maut datang menjemputnya sebagaimana disitir dalam firman Allah : “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur” (Al-Takaatsur ayat 1-2). Ingatlah, kita semua akan mati, dikubur dan di dalam kubur bila amal kita baik selama di dunia, kita akan mendapat kenikmatan. Namun, jika kita termasuk golongan kaum yang mungkar, fasik, menafik maka siksa kubur sangat dahsyat. Sementara manusia-manusia yang cerdas menjadikan kehidupannya bukan hanya sebagai sarana menghadapi dan mempersiapkan kematian, namun menjemput kematian melalui seni kematian. Paradigma seni kematian memang masih aneh dalam fikiran masyarakat saat ini. Kematian hanyalah kematian. Bagaimana mungkin sesuatu yang nafsu membenci bertemu dengannya menjadi sesuatu yang jiwa bergairah berjumpa dengannya? Inilah salah satu ajaran Islam yang agung, mengatur dari hal-hal kecil kehidupan sampai bagaimana menjemput kematian dalam koridor-Nya. Contoh-contoh siksa kubur telah diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain yaitu siksa kubur bagi orang kafir, siksa kubur bagi orang yang durhaka, dan siksa kubur bagi orang yang suka berkunjung dan mengadu domba. Setiap orang menghendaki selamat dari siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ingin memperoleh pahala serta rahmat-Nya, dan juga ingin dimasukkan ke dalam syurga-Nya. Untuk meraih kehendak dan keinginan dimaksud, seharusnya seseorang dapat mencegah nafsu dari kesenangan duniawi, selalu sabar dalam penderitaan dan bencana atau musibah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar” (Ali-Imran ayat 146).

Bagi orang-orang cerdas, kematian adalah panglima nasihat dan guru kehidupan. Sedikit saja ia lengah dari memikirkan kematian, maka ia telah kehilangan guru terbaik dalam hidupnya. Inilah yang membuat seorang Sayyid Qutb berkata di tiang gantungan Rezim Pemerintah Gamal Abdul Naser berkata, ”Hiduplah Anda dalam keadaan mulia, atau matilah dalam keadaan mati syahid”. Begitu juga Malaikat Maut yang menyayangi Nabi Idris untuk dicabut nyawanya, karena termasuk orang yang sabar sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam Surat Al-Anbiya ayat 85, “Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Zulkifli. Mereka itu semua termasuk orang-orang yang sabar”, dimana orang yang sabar itu disayangi oleh Allah sebagaimana firman-Nya, “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar” (Ali-Imran ayat 146). Seni kematian yang paling indah juga dicontohkan para sahabat dalam membela risalah Islam dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia. Rosulullah pernah bersabda, “Cukuplah kematian itu sebagai penasehat”. (HR. Thabrani dan Baihaqi). “Secerdas-cerdasnya manusia ialah yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian. Mereka itulah orang yang benar-benar cerdas dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan dunia serta kemuliaan akhirat”. (HR. Ibnu Majah)

Sekarang adakah dalam hati kita kematian itu sebagai penasihat terbaik kita dan memulai menata hati, jiwa dan raga untuk menjemput kematian dengan seni kematian yang begitu indah dalam Islam? Wallahu a’alam. Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
 
Sumber :  Komunitas Umat Islam Indonesia
Editor : Muhammad Hidayat
Read more

Satu Kalimat yang jarang Digunakan Namun Kedahsyatannya Sanggup Menjebol Tembok Ya'juj & Ma'juj

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْم
“Dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang.”
Di antara bangsa-bangsa manusia, tidak ada bangsa yang sekuat ya'juj ma'juj, sekejam ya'juj ma'juj, dan sebanyak ya'juj ma'juj. Namun tidak disangka, bahwa kelak yang membebaskan mereka dari tembok kokoh Dzulqarnain adalah kalimat 'Insya Allah'. 
 Ilustrasi

Nabi Muhammad SAW pernah ditanya oleh An-Nadhar bin Al-Harits dan 'Uqbah bin Ani Mu'ith sebagai utusan kaum kafir Quraisy. Pertanyaan yang diajukan oleh kedua orang ini adalah bagaimana kisah Ashabul Kahfi?, Bagaimana kisah Dzulqarnain?, dan Apa yang dimaksud dengan Ruh?

Rasulullah SAW bersabda kepada dua orang itu, "Besok akan saya ceritakan dan saya jawab." Akan tetapi Rasulullah SAW lupa mengucapkan "Insya Allah". Akibatnya wahyu yang datang setiap kali beliau menghadapi masalah pasti terputus selama 15 hari.

Sedangkan orang Quraisy setiap hari selalu menagih janji kepada Rasulullah saw dan berkata "Mana ceritanya? besok..besok..besok.." Ketika itu Rasulullah saw sangat bersedih. Akhirnya Allah menurunkan wahyu surat Al-Kahfi yang berisi jawaban kedua pertanyaan pertama, pertanyaan ketiga berada dalam surat Al-Israa ayat 85.
Allah berfirman pada akhir surat Al-Kahfii :
"Janganlah kamu sekali-kali mengatakan, 'Sesungguhnya saya akan melakukan hal ini besok,' kecuali dengan mengatakan Insya Allah." (QS Al-Kahfi :23-24)

Sebuah kalimat yang sering kita salah artikan tetapi orang yang paling mulia disisiNya, yang telah diampuni dosanya baik yang telah lalu dan yang akan datang pun ditegur oleh Allah SWT karena lupa mengucapkan "Insyaa Allah". Ada rahasia besar apa dibalik kalimat Insya Allah?

Perhatikan petikan ayat diatas, di ayat tersebut Allah memerintahkan manusia ketika semua rencana sudah matang dan pasti janganlah mengatakan “Sesungguhnya aku akan mengerjakan besok” tetapi harus diikuti dengan ucapan Insya Allah.

Sebab ucapan “Sesungguhnya aku akan mengerjakan besok” adalah sebuah 'ucapan kepastian', keyakinan diri jika hal itu benar-benar akan dilakukannya, bukan keraguan-keraguannya.

Benar, Insya Allah adalah penegas ucapan kepastian dan keyakinan. Bukan keragu-raguan. Dari situlah tubuh kita mengeluarkan semacam kekuatan dan kepasrahan total yang tidak kita sadari sebagai syarat utama tercapainya sebuah keberhasilan.

Manusia hanya berencana dan berikhtiar, Allah yang menentukan hasilnya. Manusia terlalu lemah untuk mengucapkan ‘pasti’, karena Allah sebagai sang pemilik tubuh ini dapat berkehendak lain.

Ingat baik baik! Jika kalian tidak yakin atau tidak dapat memastikan sebuah rencana, maka jangan pernah mengatakan Insya Allah, cukup katakan saja “Maaf, saya tidak bisa” atau “Maaf, saya tidak dapat menghadiri …”

Tetapi bila kalian yakin bisa melakukan rencana itu, maka katakanlah “Insya Allah”, niscaya kalian akan melihat sebuah ketentuan Allah sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh-Nya.
"Mereka (Ya'juj & Ma'juj) berusaha untuk keluar dengan berbagai cara, hingga sampai saat matahari akan terbenam mereka telah dapat membuat sebuah lobang kecil untuk keluar. Lalu pemimpinnya berkata,'Besok kita lanjutkan kembali pekerjaan kita dan besok kita pasti bisa keluar dari sini."

"Namun keesokkan harinya lubang kecil itu sudah tertutup kembali seperti sedia kala atas kehendak Allah. Mereka pun bingung tetapi mereka bekerja kembali untuk membuat lubang untuk keluar. Demikian kejadian tersebuat terjadi berulang-ulang."
"Hingga kelak menjelang Kiamat, di akhir sore setelah membuat lubang kecil pemimpin mereka tanpa sengaja berkata, “Insya Allah, Besok kita lanjutkan kembali pekerjaan kita dan besok kita bisa keluar dari sini."

"Maka keesokan paginya lubang kecil itu ternyata masih tetap ada, kemudian terbukalah dinding tersebut sekaligus kegaibannya dari penglihatan masyarakat luar sebelumnya."
"Dan Kaum Ya’juj dan Ma’juj yang selama ribuan tahun terkurung telah berkembang pesat jumlahnya akan turun bagaikan air bah memuaskan nafsu makan dan minumnya di segala tempat yang dapat mereka jangkau di bumi."

Jika kaum perusak sekelas ya'juj dan ma'juj saja bisa berhasil meskipun tanpa sengaja mengucapkan Insya Allah, bagaimanakah halnya dengan kita. Apalagi jika disertai dengan kesadaran dan penuh kepastian mengucapkannya. Yakinlah, janji Allah SWT selalu benar, Dia-lah sebaik baik penepat janji.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Harmalah dari bibinya berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Kamu mengatakan tidak ada permusuhan, padahal sesungguhnya kamu senantiasa memerangi musuh, sehingga datanglah Ya'juj dan Ma'juj; yang lebar jidatnya, sipit matanya, menyala (merah) rambutnya, mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi, wajahnya seperti martil."

Ini adalah gambar bangsa Troll dalam cerita-cerita fiksi karangan orang Barat. Mungkinkah orang Barat sudah bisa membayangkan Ya'juj Ma'juj. Waallahu 'alam. Yang jelas mereka pasti lebih menakutkan dari gambar ini.
Editor : Muhammad Hidayat
Read more

Pentingnya Mengenal Al-Asma` Al-Husna

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْم
“Dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang.”

Mengenal dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah sangatlah agung, penuh dengan kebaikan dan keutamaan, serta mengandung beraneka ragam buah dan manfaatnya.
Keutamaan dan keagungan perihal mendalami ilmu Al-Asma` Al-Husna akan lebih jelas dengan memperhatikan beberapa keterangan berikut. 


Pertama: ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah ilmu yang paling mulia dan paling utama, yang kedudukannya paling tinggi dan derajatnya paling agung. Tentunya hal ini sangat dimaklumi karena kemuliaan suatu ilmu pengetahuan bergantung kepada jenis pengetahuan yang dipelajari dalam ilmu itu. Sementara itu, telah dimaklumi pula bahwa tiada yang lebih mulia dan lebih utama daripada ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam Al-Qur`an yang mulia dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Abu Bakr Ibnul ‘Araby rahimahullahberkata, “Kemuliaan sebuah ilmu bergantung kepada apa-apa yang diilmui padanya. Sementara itu, (mengenal Allah) Al-Bari adalah semulia-mulia pengetahuan. Oleh karena itu, mengilmui nama-nama-Nya adalah ilmu yang paling mulia.”[1]
Oleh karena itu, mempelajari dan mendalami makna Al-Asma` Al-Husna adalah amalan yang paling utama dan mulia.


Kedua: mengenal Allah dan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya akan menambah kecintaan hamba kepada Rabb-nya, akan membuat seorang hamba semakin mengagungkan dan membesarkan-Nya, lebih mengikhlaskan segala harapan dan tawakkal hanya kepada-Nya, serta membuat rasa takutnya terhadap Allah semakin mendalam. Tatkala pengetahuan dan pemahaman seorang hamba akan nama-nama dan sifat-sifat Rabb-nya semakin kuat dan mendalam, akan semakin kuat pula tingkat penghambaannya kepada Allah, semakin tulus sikap berserah dirinya  kepada syariat Allah, serta semakin tunduk kepada perintah Allah dan semakin jauh meninggalkan larangan-Nya.


Ketiga: mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah dasar keimanan dan, dengan itu pula, iman akan semakin bertambah.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’dy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, mengimani dan mengenal Al-Asma` Al-Husna mencakup tiga jenis tauhid: tauhid rubûbiyyah, tauhid ulûhiyyah, dan tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat. Tiga jenis tauhid ini adalah perputaran dan ruh iman, serta pokok dan puncak (keimanan). Oleh karena itu, setiap kali pengetahuan hamba akan nama-nama dan sifat-sifat Allah semakin bertambah, akan bertambah pula keimanan dan akan semakin kuat keyakinan (hamba) tersebut.”[2]
Demikian pula sebaliknya, siapa saja yang pengetahuannya tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah kurang, kurang pula keimanannya.
Siapa saja yang mengenal Allah, ia akan mengenal segala sesuatu selain Allah. Namun, siapa saja yang kondisinya justru sebaliknya, perhatikanlah firman-Nya,

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah maka Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” [Al-Hasyr: 19]
Cermatilah ayat di atas. Tatkala seseorang lupa terhadap Allah, Allah membuatnya lupa terhadap dirinya sendiri, lupa terhadap apa-apa yang merupakan kebaikannya, serta lupa terhadap sebab-sebab keberuntungannya di dunia dan akhirat.


Keempat: sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengadakan makhluk yang sebelumnya mereka tidaklah pernah terwujud dan tidak pernah tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla juga memudahkan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi untuk mereka serta memberikan berbagai nikmat kepada mereka yang tidak mungkin bisa dijumlah dan dihitung. Seluruh hal tersebut adalah agar mereka mengenal Allah dan menyembah-Nya. Allah Jalla Sya`nuhuberfirman,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا.

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit, seperti itu pula bumi. Perintah-Nya berlaku padanya agar kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [Ath-Thalaq: 12]

Allah Tabaraka wa Ta’alaberfirman pula,

قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ. ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ.

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya, patutkah kalian kafir terhadap Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan mengadakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Rabb alam semesta.’ Di bumi itu, Dia menciptakan gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan padanya Dia menentukan kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian, Dia menuju langit, sedang langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, ‘Datanglah kalian berdua menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan suka hati.’.”[Fushshilat: 9-11]

Allah ‘Azza Dzikruhu juga menyatakan,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ. مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ. إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ.

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka tidak pula menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kukuh.”[Adz-Dzariyat: 56-58]

Oleh karena itu, usaha seorang hamba dalam mengenal dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah sesuai dengan maksud penciptaannya. Meninggalkan dan menelantarkan hal tersebut tergolong melalaikan maksud penciptaannya. Karena, sangatlah tidak layak seorang makhluk yang lemah yang telah mendapatkan berbagai macam keutamaan serta telah merasakan beraneka ragam karunia dan nikmat Allah, tetapi ia jahil terhadap Rabb-nya serta berpaling dari mengenal kebesaran, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya.


Kelima: sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta mencintai timbulnya pengaruh nama-nama dan sifat-sifat-Nya kepada makhluk. Tentunya hal ini merupakan bagian dari kesempurnaan Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Di antara nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim[3]yang Maha merahmati makhluk dengan berbagai nikmat. -Sebagai contoh-, perhatikanlah surah Ar-Rahman, dari awal hingga akhir surah, yang menunjukkan rahmat Allah yang maha luas. Pada awal surah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الرَّحْمَنُ. عَلَّمَ الْقُرْآنَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ. عَلَّمَهُ الْبَيَانَ. الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ. وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ. وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ. أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ. وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ. وَالْأَرْضَ وَضَعَهَا لِلْأَنَامِ. فِيهَا فَاكِهَةٌ وَالنَّخْلُ ذَاتُ الْأَكْمَامِ. وَالْحَبُّ ذُو الْعَصْفِ وَالرَّيْحَانُ. فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ.

“(Allah) Yang Maha Merahmati, Yang telah mengajarkan Al-Qur`an. Dia menciptakan manusia, Mengajarnya agar pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Tumbuh-tumbuhan dan pepohonan tunduk kepada-Nya. Dan Dia telah meninggikan langit dan meletakkan neraca (keadilan) supaya kalian jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu secara adil dan janganlah kalian mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-(Nya). Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang baunya harum. Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian dustakan?” [Ar-Rahman: 1-13]
Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman,

فَانْظُرْ إِلَى آثَارِ رَحْمَتِ اللَّهِ كَيْفَ يُحْيِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ ذَلِكَ لَمُحْيِ الْمَوْتَى وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.

“Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Rabb yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [Ar-Rûm: 50]


Karena rahmat Allah, Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang mempunyai sifat merahmati makhluk lain sebagaimana yang ditunjukkan dalam nash-nash dalil yang sangat banyak.
Allah Subhanahu wa Ta’alaadalah Al-‘Alim ‘Yang Maha Mengetahui’ dan Allah mencintai orang-orang yang berilmu sebagaimana dalam nash-nash dalil yang sangat banyak.
Allah adalah At-Tawwab ‘Maha Menerima Taubat’ dan Allah mencintai orang-orang yang bertaubat,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ.

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” [Al-Baqarah: 222]

Demikianlah seterusnya.
Ibnul Qayyim rahimahullahberkata, “Demikianlah keadaan nama-nama Allah yang maha husna. Makhluk yang paling Dia cintai adalah siapa saja yang bersifat dengan konsekuensi dari (Al-Asma` Al-Husna itu). Sedangkan, (makhluk) yang paling Dia benci adalah siapa saja yang bersifat dengan kebalikan dari (Al-Asma` Al-Husna itu). Oleh karena itu, (Allah) membenci orang kafir, zhalim, jahil, yang berhati keras, bakhil, penakut, hina, dan bejat. Sementara itu, (Allah) Subhanahuadalah Jamil ‘Maha indah, elok’, cinta kepada keindahan; Alim, cinta kepada ulama; Rahim, cinta kepada orang yang merahmati; Muhsin‘Maha Memberi Kebaikan’, cinta kepada orang yang berbuat kebaikan; Syakûr‘Maha Pembalas Jasa’, cinta kepada orang yang bersyukur; Shabûr ‘Yang Maha Sabar’[4]cinta kepada orang yang bersabar; Jawwad ‘Maha Dermawan’[5], cinta kepada orang-orang yang dermawan dan berbuat kebajikan; Sattar [6], cinta kepada As-Sitr; Qadir, mencela kelemahan -“dan mukmin yang kuat lebih Dia cintai daripada mukmin yang lemah”-[7]; ‘Afûw ‘Maha Pemaaf’, cinta kepada sifat pemaaf; dan Witr ‘Yang Maha Satu’, cinta kepada yang witir[8]. Setiap hal yang Allah cintai merupakan pengaruh dan konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan, setiap hal yang Dia benci berasal dari apa-apa yang bertentangan dan berlawanan dengan (pengaruh dan konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya).”[9]


Kenam: orang yang benar-benar mengenal Allah ‘Azza wa Jallaakan berdalil dengan sifat-sifat dan perbuatan Allah terhadap segala sesuatu yang Dia perbuat dan segala sesuatu yang Dia syariatkan. Karena, seluruh perbuatan Allah adalah keadilan, keutamaan, dan hikmah, yang telah menjadi konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Oleh karena itu, tiada suatu apapun yang Dia syariatkan, kecuali sesuai dengan konsekuensi tersebut. Sehingga, segala hal yang Allah beritakan adalah sesuatu yang hak dan benar, sedang segala perintah dan larangan-Nya adalah keadilan dan hikmah.

Misalnya, seorang hamba memperhatikan Al-Qur`an dan segala sesuatu yang Allah beritakan kepada makhluk melalui lisan para rasul tentang nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya serta tentang keharusan menyucikan dan membesarkan Allah terhadap segala sesuatu yang tidak layak. Juga, ia memperhatikan bagaimana perbuatan Allah kepada para wali yang memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan kenikmatan yang mereka peroleh karena itu, ataupun ia memperhatikan bagaimana keadaan orang-orang yang menentang-Nya dan kebinasan akibat perbuatan mereka. Berdasarkan hal ini, orang-orang yang memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya akan berdalilkan bahwa Allah adalah satu-satu-Nya Ilah yang berhak diibadahi, “Yang Maha mampu atas segala sesuatu”, “Yang Maha Mengetahui segala sesuatu”, “Yang siksaan-Nya keras”, “Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, “Yang Maha Berkuasa lagi Maha Bijaksana”, “Yang Maha melakukan segala sesuatu yang Dia kehendaki”, dan seterusnya berupa hal-hal yang menunjukkan rahmat, keadilan, keutamaan, dan hikmah Allah Jalla wa ‘Ala.

Apabila seorang hamba memperhatikan hal di atas, tidaklah diragukan bahwa hal tersebut akan menambah keyakinannya, memperkuat imannya, menyempurnakan tawakkalnya, dan semakin menambah penyerahan dirinya kepada Allah.


Ketujuh: mengenal Allah dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah perniagaan yang sangat menguntungkan. Di antara keuntungannya adalah membuat jiwa menjadi tenang, hati menjadi tentram, dada menjadi lapang dan bersinar, merasakan keindahan surga Firdaus pada hari kiamat, melihat wajah Allah Yang Maha Agung lagi Maha Mulia, meraih keridhaan Allah, dan selamat dari kemurkaan dan siksaan-Nya. Insya Allah, keuntungan-keuntungan tersebut akan lebih tampak lagi pada uraian Al-Asma` Al-Husna yang akan diterangkan dalam tulisan ini secara bersambung.


Kedelapan: berilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah penjaga dari ketergelinciran, pembuka pintu amalan shalih, pemacu untuk menyongsong segala ketaatan, penghardik dari dosa dan maksiat, pembersih jiwa dari sikap-sikap tercela, penghibur pada masa musibah dan petaka, pengawal dalam menghadapi gangguan syaithan, penyeru kepada akhlak mulia dan fadhilah, serta lain sebagainya yang merupakan buah dan manfaat ilmu Al-Asma` Al-Husna.


Kesembilan: mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah dasar pokok untuk mengetahui segala ilmu pengetahuan yang lain. Hal ini karena yang dipelajari -selain ilmu tentang Allah Tabaraka wa Ta’ala- terbagi dua:
  1. Makhluk-makhluk yang diadakan dan diciptakan oleh Allah Ta’ala.
  2. Perintah-perintah yang, dengannya, Allah memerintah makhluk, baik berupa perintah kauny maupun perintah syar’iy.
Sedangkan, Allah Subhanahu wa Ta’alatelah berfirman,
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ.

“Ingatlah bahwa mencipta dan memerintah hanyalah hak (Allah).”[Al-A’raf: 54]

Telah dimaklumi bahwa segala ciptaan dan perintah Allah adalah baik, dibangun di atas kemaslahatan, rahmat, dan kasih sayang untuk segenap makhluk. Seluruh hal tersebut adalah pengaruh dari kandungan Al-Asma` Al-Husna. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa penciptaan dan perintah bersumber dari Al-Asma` Al-Husna Allah Jalla Jalaluhu. Sebagaimana, segala sesuatu yang ada -selain Allah- adalah karena diadakan oleh Allah, sedang keberadaan selain-Nya adalah ikut kepada keberadaan-Nya, dan makhluk yang dicipta ikut kepada Yang Menciptakannya maka demikian pula ilmu tentang Allah adalah sumber segala ilmu yang lain. Oleh karena itu, berilmu tentang Al-Asma` Al-Husna adalah sumber ilmu pengetahuan yang lain.[10]


Kesepuluh: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghitung (nama-nama) tersebut, ia akan dimasukkan ke dalam surga.”

Insya Allah, akan datang, pembahasan yang berkaitan dengan makna menghitung Al-Asma` Al-Husna, bahwa maknanya bukan hanya sekadar menjumlah dan menghafalkannya, melainkan juga mengetahui makna dan kandungannya sehingga tiada jalan bagi siapa saja yang ingin meraih keutamaan yang tersurat dalam hadits di atas, kecuali dengan mempelajari Al-Asma` Al-Husna sesuai dengan jalan yang benar dan pemahaman lurus.


Kesebelas: ayat-ayat yang menyebutkan nama-nama dan sifat-sifat Allah kedudukannya yang paling agung dalam Al-Qur`an Al-Karim melebihi ayat lain[11]. Oleh karena itu, ayat yang paling agung adalah ayat Kursi -yang mengandung sejumlah sifat dan beberapa nama Allah- sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada beliau,

يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ قَالَ قُلْتُ { اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ } قَالَ فَضَرَبَ فِي صَدْرِي وَقَالَ وَاللَّهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ

“Wahai Abul Mundzir (Ubay), ayat apa yang paling agung dari kitab Allah yang kamu hafal?” Saya (Ubay) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau (kembali) bertanya, “Wahai Abul Mundzir, ayat apa yang paling agung dari kitab Allah yang kamu hafal?” Saya menjawab, “Allahu La Ilaha Illa Huwal Hayyul Qayyûm [ayat Kursi],” maka beliau memukul dadaku seraya berkata, “Demi Allah, ilmu akan membahagiakanmu, wahai Abul Mundzir.”[12]

Demikian pula keberadaan dan keutamaan surah Al-Fatihah yang telah dikenal dan dimaklumi, di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyifatkan surah Al-Fatihah,
 
هِيَ أَعْظَمُ السُّوَرِ فِي الْقُرْآنِ

“(Al-Fatihah) itu adalah seagung-agung surah dalam Al-Qur`an.”[13]

Juga keutamaan surah Al-Ikhlash yang mengandung nama-nama dan sifat-sifat Allah. Salah satu keutamaannya tertera dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

“Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya (surah Al-Ikhlash) itu senilai sepertiga Al-Qur`an.” [14]

Keterangan di atas menunjukkan keagungan dan kemuliaan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla.

Demikian beberapa hal yang menunjukkan pentingnya mempelajari Al-Asma` Al-Husna dan betapa perlunya seorang hamba untuk mendalaminya.
Perlu kami ingatkan pula bahwa pembahasan Al-Asma` Al-Husna bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah, bukan bersumber dari akal, perasaan, eksperimen, inspirasi, dan adat istiadat. Ini adalah kaidah dasar yang harus kami ingatkan dalam tulisan ini mengingat bahwa banyak di antara kaum muslimin yang tertipu dengan kepandaian sebagian orang, yang hanya berlari di belakang dunia atau terkungkung oleh hawa nafsu dan was-was syaithan, dengan membawakan kandungan dan manfaat Al-Asma` Al-Husnayang tidak pernah ditunjukkan oleh tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah.
Semoga Allah memudahkan segala sebab kebaikan untuk kita semua dan menjauhkan kita semua dari segala kejelekan. Wallahu Ta’ala A’lam.



[1]Bacalah Ahkam Al-Qur`an 2/793 -dengan perantara kitab Asma`ullah wa Shifatuhu karya Al-Asyqar hal. 23-.

[2]At-Taudhih wa Al-Bayan Li Syajarah Al-Iman hal. 41.

[3]Nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim berasal dari kata rahmat. Terdapat rincian makna kata rahmat pada nama Ar-Rahman dan kata rahmatpada nama Ar-Rahim. Insya Allah, penjelasan tentang makna dan kandungan kedua nama itu akan datang.

[4]Ada perbincangan seputar keabsahan penamaan ini. Insya Allah, pembahasannya akan datang.

[5]Ada perbincangan seputar keabsahan penamaan ini. Insya Allah, pembahasannya akan datang.

[6]Ada perbincangan seputar keabsahan penamaan ini. Insya Allah, pembahasannya akan datang.

[7]Petikan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim.

[8]Yang witir mempunyai banyak kandungan makna. Insya Allah, hal ini akan diuraikan dalam pembahasan nama Al-Witr.

[9]‘Idah Ash-Shabirin hal. 241. Baca jugalah Madarij As-Salikin1/420 dan Miftah Dar As-Sa’adah 1/3.

[10]Demikian makna keterangan Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Bada`i’ Al-Fawa`id1/163.

[11]Bacalah keterangan Ibnu Taimiyah dalam Da` At-Ta’arudh baina Al-‘Aql wa An-Naql 5/310-313.

[12]Dikeluarkan oleh Muslim no. 810 dan Abu Dawud no. 1460.

[13]Dikeluarkan oleh Al-Bukhary, Abu Dawud no. 1458, An-Nasa`iy 2/193, dan Ibnu Majah no. 3785 dari Abu Sa’id Al-Mu’alla radhiyallahu ‘anhu.

[14]Dikeluarkan oleh Al-Bukhary, Abu Dawud no. 1461, dan An-Nasa`iy 2/171 dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu. Dikeluarkan pula oleh Muslim no. 812, At-Tirmidzy no. 2899, dan Ibnu Majah no. 3738 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Juga dikeluarkan oleh Muslim no. 811 dari Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu.

Read more